Halaman

    Social Items


Trilogi dalam sebuah keluarga-ide ini muncul ketika saya membuat kolase analog dengan bahan majalah bekas.Beberapa potongan karakter dan objek saya satukan ke dalam sebuah seni kolase. Karya ini bercerita tentang sebuah dunia keluarga yang terdiri atas Ayah, Ibu, dan Anak. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan siapapun, karya ini berangkat dari pengalaman saya pribadi dan menurut padangan saya pribadi. Sebagai disclaimer, opini ini tidak bisa saya pertanggung jawabkan.


Peran anggota keluarga dalam menyokong tatanan kehidupan sangatlah kompleks dan rumit jika dijabarkan secara pikiran saja. Semuanya memiliki peran yang sama pentingnya, yang sama menuntut tanggung jawab penuh atas itu.


Kolase tentang Ayah yang sedang menempa pedang; adalah simbol bahwa sosok ayah adalah kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab untuk menempa, mendidik, menafkahi, dan tentunya seorang pejuang bagi keluargnya.


Kolase tentang Ibu; disimbolkan dengan bangunan dan sepotong tangan memegang kunci. Saya ingin menggambarkan bahwa peran Ibu di dalam rumah sangat penting. Ibu memegang kunci kendali atas segala hal yang terjadi di dalam rumah. Sekolah pertama bagi anak adalah seorang Ibu.


Kolase tentang Anak; digambarkan dengan profil anak dengan kepala dedaunan. Maksud saya adalah seorang anak terus tumbuh sampai ia menemukan jatidirinya. Sudah menjadi kewajiban orang tuanya untuk mendidik dan memastikan tumbuh kembang anaknya.


Begitulah kesoktahuan saya tentang hal yang saya tuliskan di atas. Sekali lagi ini hanya opini pribadi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.


Trilogy In a Family - Trilogi Dalam Sebuah Keluarga


DISCLAIMER: TULISAN INI MERUPAKAN OPINI PRIBADI YANG TIDAK BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN WQWQWQ

Eskpetasi dan Tuntutan; Dalam Sebuah Reportoar MPV Dari Danilla Riyadi. Danilla Riyadi baru saja merilis sebuah musik video di kanal Youtube miliknya pada tanggal 2 Januari 2022. Gebragan awal tahun yang cukup mencuri perhatian para penelisik (baca penggemar Danilla). Terlihat dari komentar yang membanjiri di kolom komentar musik video tersebut.


Antusias akan meledak ketika idolanya mengeluarkan karya (lagi) setelah lama tidak mengeluarkan karya. Namun, apakah penggemarnya akan tetap setia untuk menikmati karyanya? Tidak ada yang tahu. Misteri. Sebab sebagai penggemar tentu banyak memiliki ekspetasi tersendiri terhadap karya-karya yang dilahirkan oleh senimannya. Dalam hal ini musik karena saya sedang menulis lagu terbaru dari Danilla Riyadi.


Acapkali musisi atau seniman lainnya mendapatkan 'tekanan' dalam berkarya dari penggemarnya sendiri secara langsung ataupun tidak. Hal yang mudah ditemui adalah celotehan seperti ini kira-kira,"ih kok lagunya gini sih... beda sama yang dulu", "ih gambarnya begitu amat, gak jelas" dan lain-lain.  Bahkan itu lebih kepada selera si penggemar itu sendiri. Tidak siap menerima sesuatu yang baru dan berbeda. Memang tidak semua penggemar memiliki anggapan serupa.Ada juga penggemar yang akan terus mencintai apapun yang dilahirkan dari seniman yang ia kagumi. Banyak. 


Lagu tersebut membuat saya ingin menuliskan hal ini. Jika ditarik dalam kehidupan sosial, saya pikir ekspetasi dan tuntutan terus mengekor sejak dari rahim hingga tumbuh. Terutama ketika berada ditatanan masyarakat pada umumnya. Menghadapi hal tersebut memang seperti berat dan bisa menjadi traumatis bagi beberapa orang. Banyak hal, misalnya persoalan percintaan, pekerjaan, pendidikan, dan hal-hal lain yang beririsan dengan kehidupan bermasyarakat pada umumnya.


Hal-hal baru yang diasumsikan melenceng dari kebiasaan acapkali dimuntahkan bulat-bulat tanpa ingin mencari tahu, mengendus, mengunyah ataupun menelannya. Serupa gerutu penggemar yang tidak mendapatkan ekspetasi pada karya seniman. 


Hidup apa adanya atau hidup dalam ekspetasi dan tuntutan ? Entahlah.

Eskpetasi dan Tuntutan; Dalam Sebuah Reportoar MPV Dari Danilla Riyadi

  

    Perjalanan dua pekan lalu,
pada jalanan terik, kering membawanya pada tualang suka cita
Ia membawa kelana singkat pada perjanjian lampau, pertemuan.

    Mei, pada tiap akhir pekan,
di antara kabar dan sunyinya jembatan di pegunungan berkabut
Aku menunggu pada diam lampau, menjadi asing.

    Kini, musim hujan datang,
entah pada pekan keberapa, ia akan kembali pada suka cita
Kau yang bertaruh pada diam, hanya bisa saling intip.

 Matahari terbenam di wajahmu.

Wonosobo, Oktober 2021

Matahari Terbenam Di Wajahmu



"Sepedaan ke Dieng yok!", ajak seorang teman

Hai!
17 Agustus 2020 dimana sebagian rakyat Indonesia merayakan "kemerdekaan" bangsa dari penjajahan dahulu kala, saya dan beberapa teman bersepeda dengan tujuan ke Dieng. Yap! Dieng---saya tidak menyangka dapat menyelesaikan trip kali ini. Mengingat rute yang dipilih adalah rute yang cukup berat bagi saya, sebagai pesepeda baru. Berawal dari ajakan teman-teman, akhirnya saya memantapkan untuk mengikuti trip ini. Kebetulan saya libur kerja pada tanggal tersebut.

Perjalanan saya mulai dari rumah pada tanggal 16 Agustus selepas sholat maghrib menuju Rumah Federalist Banjarnegara (rumah singgah bagi para pesepeda). Ohya kami tergabung Federal Dawet Ayu (Feddayu) dan tergabung dalam MTBFI chapter Banjarnegara. Rumah Federalist yang selanjutnya saya singkat jadi RF, kami pilih untuk tempat berkumpul karena letaknya yang strategis dan mengingat rombongan kami dijadwalkan berangkat pada pukul 03.00 di tanggal 17 Agustus. Ohya rombongan kami saat itu ada 10 orang (mas Agus, mas Harun, mas Heri, mas Agung, mas Sigit, mas Atong, mas Beti, mas Jun, mas Anang dan saya). Maka RF adalah tempat yang tepat untuk berkumpul.

(Di Depan RF)

Etape 1; RF-Paweden-Karangkobar
Ternyata ketika kami di RF, istirahat kurang  maksimal karena terlalu antusias untuk besok harinya. Total kami cuma tidur 1,5 jam. Ohya rute yang kami tempuh RF-Karangkobar-Pejawaran-Batur-Dieng-Wonosobo-Rumah masing-masing. Iyalah rumah masing-masing. hehe. Perjalanan agak meleset 30 menit, jadi kami resmi berangkat pukul 03.30 dengan keadaan nyawa yang belum kumpul sepenuhnya hahaha. Perjalanan akan banyak menguras tenaga, sebab tanjakan-tanjakan akan menjadi teman perjalanan.

(Rest Area Paweden)

Tepat adzan subuh kami tiba di masjid di daerah Kalilunjar untuk sholat subuh. Perjalanan kali ini kami juga menentukan beberapa check point untuk memudahkan titik istirahat agar efisiensi waktu dan mengatur tenaga kami. Etape 1 RF-Karangkobar 23 km kami tempuh dengan 4 jam. Selama perjalanan dari RF-Karangkobar, kami disuguhi tanjakan dan hawa dingin yang menyergap. Namun, ketika masuk daerah Paweden kami disuguhi pemandangan hutan pinus dan landscape perbukitan yang aduhai indah pas pagi hari, lumayan untuk mengobati kelelahan. Tepat pukul 08.00 setelah sekitar 4 jam berlalu, kami tiba di Karangkobar untuk istiahat dan menunggu 2 orang yang tergabung dalam rombongan kami. Sembari bercanda dan makan cemilan untuk memulihkan tenaga yang sudah terkuras selama perjalanan etape 1.




(SPBU Karangkobar)


Etape 2; Karangkobar-Pejawaran-Ratamba-Batur
Kami bersiap ketika jam menunjukan pukul 08.30 dan bergegas untuk melakukan koordinasi dan berdoa untuk kelancaran. Perjalanan kami mulai dengan mengarungi pasar tradisional yang masih menjadi andalan untuk masyarakat pedesaan. Ramai. Kemudian perlahan kami memasuki kawasan hutan pinus dengan tanjakan yang (astaghfirullah capeknya). Rupanya ada kejutan setelah tanjakan tinggi pertama dari Karangkobar. Tiba-tiba jalanan berubah menjadi turunan yang curam, saya sebenarnya agak ketar-ketir, karena sistem pengereman yang agak kurang maksimal. Tangan agak gemetar ketika harus terus-menerus menekan tuas rem sepeda. Kontur turunan yang tajam dan bergelombang membuat beberapa barang di keranjang sepeda terpental, kaoskaki jatuh, tapi saya urung untuk berhenti untuk mengambilnya. Sebab saya harus fokus melakukan pengereman di jalan tersebut. Ngeri sebenarnya, tapi alhamdulillah lancar. Satu persatu tanjakan kami taklukan dengan susah payah, namun kami menikmatinya dan tentu saja sambil bercanda! hahaha. 

(Tanjakan Hampir Sampai Pasar Batur)

Beberapa teman mendapati kendala di sepedanya, adapula yang mulai drop tenaganya. Selama perjalanan etape 2 ini, rombongan kami sudah terpisah alias sepedaan sendiri-sendiri karena beda orang beda tenaga. Ketika memasuki daerah Ratamba, kaki saya kram karena kesalahan saya sendiri. Disini saya mulai drop karena tidak bisa memaksimalkan tenaga dikarenakan kaki kram. Ah baru kali ini saya merasakan kaki kram yang begitu sakit. Total perjalanan etape 2 kurang lebih 18 km. Namun etape ini kami tempuh dengan waktu yang cukup lama, kurang lebih 4,5 jam karena waktu istirahat yang cukup lama selama perjalanan etape tersebut. Setelah perjuangan menaklukan tanjakan-tanjakan, kami akhirnya sampai di pasar Batur dan segera menuju kediaman Eyang Mujiono untuk istirahat dan melaksanakan sholat duhur. Di Batur, mas Anang bergabung dengan rombongan.


(Tanjakan Hampir Sampai Pasar Batur)

Etape 3; Batur-Dieng
Setelah perut terisi dan cukup istirahat. Kabut dan hawa dingin benar-benar memaksa kami untuk bergegas menuju Dieng yang akan kami tempuh sejauh 11 km. Tepat pukul 14.30 kami mulai perjalanan, kabut menemani perjalanan kami menuju Dieng. Jalanan sepanjang Batur ke Dieng ini cukup ramai dengan kendaraan wisatawan dan pendaki. Perlahan-lahan kami memulai perjalan dengan hati-hati sebab kendaraan ramai dan jalanan yang sempit. Tibalah kami di tanjakan legend di kalangan pesepeda, yaitu tanjakan Meggy Z. Tanjakan ini terkenal karena tinggi dan panjang. Bahkan kita dapat melihat puncak tanjakan ini. Satu persatu dari kami mulai climbing dengan hati-hati. Jalanan di tanjakan ini menyempit dan kendaraan roda empat banyak lalu lalang. Di tanjakan ini saya merasa di uji untuk mengalahkan ego saya, dimana kaki saya kram dan saya harus bisa menaklukan tanjakan ini. Pelan-pelan saya kayuh pedal dengan gigi teringan di sepeda saya, kombinasai 1-1. Tiba di tengah perjalanan tanjakan Meggy Z, saya memutuskan untuk istirahat. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan menjaga agar kaki kram tidak semakin parah, sebab saya menahan sakit kaki akibat kram di Ratamba. Mental saya tiba-tiba down ketika melihat puncak Meggy Z di depan mata. Ragu. Ada beberapa teman memutuskan untuk nebeng mobil bak untuk sampai puncak Meggy Z. Terlintas untuk mengikuti jejak teman-teman saya. 

(Tanda Masuk Kawasan Dieng)

Rombongan kami terbagi menjadi 2, berhasil dan gagal. Saya termasuk yang gagal hahaha. Setelah berpikir panjang dan memantapkan hati, akhirnya saya memutuskan untuk tetap mengayuh dan berkata dalam hati,"sekuatnya saja, jangan dipaksa!". Di sini benar-benar saya kalah dengan tanjakan ini dan saya dorong sepeda sampai puncak Meggy Z. Rasanya ada penyesalan karena tidak dapat menaklukannya, tapi saya berhasil mengalahkan ego saya. Sebab jika saya memaksakan, kemungkinan kaki saya akan cidera lebih parah. Kemudian, pukul 17.35 kami tiba di spot tulisan DIENG yang menjadi tempat berfoto.  Ternyata Eyang Mujiono sudah menunggu dan menyambut rombongan kami. Ohya, sebelumnya kami berfoto di tugu 0 km Dieng.

Etape 4; Dieng-Wonosobo-Rumah masing-masing
Wajah-wajah bahagia kami muncul ketika melihat tulisan DIENG. Eyang Mujiono sudah meunggu kami dengan Om Joe dari Pamulang. Seorang diri bersepeda dari Pamulang-Dieng-Pamulang. Salut. Kemudian kami berfoto ria, sayang jika tidak diabadikan. Selepas berbincang dan melepas lelah sebentar, kami mengenakan jaket karena hawa dingin semakin menusuk kulit. Sekitar pukul 17.50 kami mulai mengayuh sepeda menuju Wonosobo kota dan menuju rumah masing-masing. Rute kali ini banyak didominasi dengan turunan, tapi terjal hahaha. Saya anggap ini adalah hadiah setelah menempuh perjalanan berangkat dengan banyak tanjakan yang panjang dan luar biasa. Untuk jarak kali ini antara Dieng-Rumah (saya) sekitar 44 km. Sayangnya saya tidak memasang aplikasi penghitung jarak di HP saya. Tetapi menurut beberapa teman pesepeda, elevasi ke Dieng lebih dari 2000 m.

Sepanjang perjalanan Dieng-Wonosobo saya merasa haru. Saya bahagia sekali dan berbangga diri. Sembari menyeka air mata yang tiba-tiba keluar dibarengi adzan maghrib. Saya begitu lelah bersepeda seharian dengan tanjakan-tanjakan luar biasa dan dengan menahan sakit kaki kram saya berhasil sampai di Dieng. Terlintas dipikiran, betapa beratnya permasalahan yang kita hadapi di dunia ini. Tapi kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Betapapun kita dikalahkan oleh dunia. Entahlah momen haru saya dapati diperjalanan kali ini. Ingin rasanya berteriak kencang ketika perjalanan Dieng-Wonosobo, melepas semua beban pikiran yang mengendap di kepala. hehehe (gak lebay dong saya?)

Pukul 18.15 kami mampir sebentar di desa Tieng, untuk sholat maghrib dan mengisi perut. Dingin-dingin makan bakso pedas rasanya nikmat. no debat!. Perjalanan pulang didominasi kabut dan lampu-lampu di sepeda kami sudah menyala. Lagi-lagi saya ketar-ketir terhadap turunan yang terjal ini. Pelan sekali, takut rem blong. Sebab jurang mengelilingi jalanan. Pokoknya ngeri-ngeri sedap hahaha. Pukul 19.00 kami mulai menuruni jalanan menuju kota Wonosobo. Kabut masih menemani, pelan-pelan akhirnya sampai di alun-alun Wonosobo. Wedang Ronde obat mujarab dihawa dingin. Di sini kami menghabiskan sekitar 3o menit untuk istirahat, karena beberapa teman sudah mulai drop dan mengantuk. Maklum tidur cuma 1,5 jam. hehehe. 

Pukul 21.45 saya tiba di rumah. Berharga sekali perjalanan kali ini. Di perjalanan kali ini saya benar-benar merasakan haru. Semua perjalanan mempunyai cerita dan maknanya sendiri. Pun dengan perjalanan hidup manusia-manusia, memiliki kisah-kisahnya sendiri.

Sekian, salam.
 

Bersepeda ke Dieng; Jalan Dingin dan Sunyi