Halaman

    Social Items



"Sepedaan ke Dieng yok!", ajak seorang teman

Hai!
17 Agustus 2020 dimana sebagian rakyat Indonesia merayakan "kemerdekaan" bangsa dari penjajahan dahulu kala, saya dan beberapa teman bersepeda dengan tujuan ke Dieng. Yap! Dieng---saya tidak menyangka dapat menyelesaikan trip kali ini. Mengingat rute yang dipilih adalah rute yang cukup berat bagi saya, sebagai pesepeda baru. Berawal dari ajakan teman-teman, akhirnya saya memantapkan untuk mengikuti trip ini. Kebetulan saya libur kerja pada tanggal tersebut.

Perjalanan saya mulai dari rumah pada tanggal 16 Agustus selepas sholat maghrib menuju Rumah Federalist Banjarnegara (rumah singgah bagi para pesepeda). Ohya kami tergabung Federal Dawet Ayu (Feddayu) dan tergabung dalam MTBFI chapter Banjarnegara. Rumah Federalist yang selanjutnya saya singkat jadi RF, kami pilih untuk tempat berkumpul karena letaknya yang strategis dan mengingat rombongan kami dijadwalkan berangkat pada pukul 03.00 di tanggal 17 Agustus. Ohya rombongan kami saat itu ada 10 orang (mas Agus, mas Harun, mas Heri, mas Agung, mas Sigit, mas Atong, mas Beti, mas Jun, mas Anang dan saya). Maka RF adalah tempat yang tepat untuk berkumpul.

(Di Depan RF)

Etape 1; RF-Paweden-Karangkobar
Ternyata ketika kami di RF, istirahat kurang  maksimal karena terlalu antusias untuk besok harinya. Total kami cuma tidur 1,5 jam. Ohya rute yang kami tempuh RF-Karangkobar-Pejawaran-Batur-Dieng-Wonosobo-Rumah masing-masing. Iyalah rumah masing-masing. hehe. Perjalanan agak meleset 30 menit, jadi kami resmi berangkat pukul 03.30 dengan keadaan nyawa yang belum kumpul sepenuhnya hahaha. Perjalanan akan banyak menguras tenaga, sebab tanjakan-tanjakan akan menjadi teman perjalanan.

(Rest Area Paweden)

Tepat adzan subuh kami tiba di masjid di daerah Kalilunjar untuk sholat subuh. Perjalanan kali ini kami juga menentukan beberapa check point untuk memudahkan titik istirahat agar efisiensi waktu dan mengatur tenaga kami. Etape 1 RF-Karangkobar 23 km kami tempuh dengan 4 jam. Selama perjalanan dari RF-Karangkobar, kami disuguhi tanjakan dan hawa dingin yang menyergap. Namun, ketika masuk daerah Paweden kami disuguhi pemandangan hutan pinus dan landscape perbukitan yang aduhai indah pas pagi hari, lumayan untuk mengobati kelelahan. Tepat pukul 08.00 setelah sekitar 4 jam berlalu, kami tiba di Karangkobar untuk istiahat dan menunggu 2 orang yang tergabung dalam rombongan kami. Sembari bercanda dan makan cemilan untuk memulihkan tenaga yang sudah terkuras selama perjalanan etape 1.




(SPBU Karangkobar)


Etape 2; Karangkobar-Pejawaran-Ratamba-Batur
Kami bersiap ketika jam menunjukan pukul 08.30 dan bergegas untuk melakukan koordinasi dan berdoa untuk kelancaran. Perjalanan kami mulai dengan mengarungi pasar tradisional yang masih menjadi andalan untuk masyarakat pedesaan. Ramai. Kemudian perlahan kami memasuki kawasan hutan pinus dengan tanjakan yang (astaghfirullah capeknya). Rupanya ada kejutan setelah tanjakan tinggi pertama dari Karangkobar. Tiba-tiba jalanan berubah menjadi turunan yang curam, saya sebenarnya agak ketar-ketir, karena sistem pengereman yang agak kurang maksimal. Tangan agak gemetar ketika harus terus-menerus menekan tuas rem sepeda. Kontur turunan yang tajam dan bergelombang membuat beberapa barang di keranjang sepeda terpental, kaoskaki jatuh, tapi saya urung untuk berhenti untuk mengambilnya. Sebab saya harus fokus melakukan pengereman di jalan tersebut. Ngeri sebenarnya, tapi alhamdulillah lancar. Satu persatu tanjakan kami taklukan dengan susah payah, namun kami menikmatinya dan tentu saja sambil bercanda! hahaha. 

(Tanjakan Hampir Sampai Pasar Batur)

Beberapa teman mendapati kendala di sepedanya, adapula yang mulai drop tenaganya. Selama perjalanan etape 2 ini, rombongan kami sudah terpisah alias sepedaan sendiri-sendiri karena beda orang beda tenaga. Ketika memasuki daerah Ratamba, kaki saya kram karena kesalahan saya sendiri. Disini saya mulai drop karena tidak bisa memaksimalkan tenaga dikarenakan kaki kram. Ah baru kali ini saya merasakan kaki kram yang begitu sakit. Total perjalanan etape 2 kurang lebih 18 km. Namun etape ini kami tempuh dengan waktu yang cukup lama, kurang lebih 4,5 jam karena waktu istirahat yang cukup lama selama perjalanan etape tersebut. Setelah perjuangan menaklukan tanjakan-tanjakan, kami akhirnya sampai di pasar Batur dan segera menuju kediaman Eyang Mujiono untuk istirahat dan melaksanakan sholat duhur. Di Batur, mas Anang bergabung dengan rombongan.


(Tanjakan Hampir Sampai Pasar Batur)

Etape 3; Batur-Dieng
Setelah perut terisi dan cukup istirahat. Kabut dan hawa dingin benar-benar memaksa kami untuk bergegas menuju Dieng yang akan kami tempuh sejauh 11 km. Tepat pukul 14.30 kami mulai perjalanan, kabut menemani perjalanan kami menuju Dieng. Jalanan sepanjang Batur ke Dieng ini cukup ramai dengan kendaraan wisatawan dan pendaki. Perlahan-lahan kami memulai perjalan dengan hati-hati sebab kendaraan ramai dan jalanan yang sempit. Tibalah kami di tanjakan legend di kalangan pesepeda, yaitu tanjakan Meggy Z. Tanjakan ini terkenal karena tinggi dan panjang. Bahkan kita dapat melihat puncak tanjakan ini. Satu persatu dari kami mulai climbing dengan hati-hati. Jalanan di tanjakan ini menyempit dan kendaraan roda empat banyak lalu lalang. Di tanjakan ini saya merasa di uji untuk mengalahkan ego saya, dimana kaki saya kram dan saya harus bisa menaklukan tanjakan ini. Pelan-pelan saya kayuh pedal dengan gigi teringan di sepeda saya, kombinasai 1-1. Tiba di tengah perjalanan tanjakan Meggy Z, saya memutuskan untuk istirahat. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan menjaga agar kaki kram tidak semakin parah, sebab saya menahan sakit kaki akibat kram di Ratamba. Mental saya tiba-tiba down ketika melihat puncak Meggy Z di depan mata. Ragu. Ada beberapa teman memutuskan untuk nebeng mobil bak untuk sampai puncak Meggy Z. Terlintas untuk mengikuti jejak teman-teman saya. 

(Tanda Masuk Kawasan Dieng)

Rombongan kami terbagi menjadi 2, berhasil dan gagal. Saya termasuk yang gagal hahaha. Setelah berpikir panjang dan memantapkan hati, akhirnya saya memutuskan untuk tetap mengayuh dan berkata dalam hati,"sekuatnya saja, jangan dipaksa!". Di sini benar-benar saya kalah dengan tanjakan ini dan saya dorong sepeda sampai puncak Meggy Z. Rasanya ada penyesalan karena tidak dapat menaklukannya, tapi saya berhasil mengalahkan ego saya. Sebab jika saya memaksakan, kemungkinan kaki saya akan cidera lebih parah. Kemudian, pukul 17.35 kami tiba di spot tulisan DIENG yang menjadi tempat berfoto.  Ternyata Eyang Mujiono sudah menunggu dan menyambut rombongan kami. Ohya, sebelumnya kami berfoto di tugu 0 km Dieng.

Etape 4; Dieng-Wonosobo-Rumah masing-masing
Wajah-wajah bahagia kami muncul ketika melihat tulisan DIENG. Eyang Mujiono sudah meunggu kami dengan Om Joe dari Pamulang. Seorang diri bersepeda dari Pamulang-Dieng-Pamulang. Salut. Kemudian kami berfoto ria, sayang jika tidak diabadikan. Selepas berbincang dan melepas lelah sebentar, kami mengenakan jaket karena hawa dingin semakin menusuk kulit. Sekitar pukul 17.50 kami mulai mengayuh sepeda menuju Wonosobo kota dan menuju rumah masing-masing. Rute kali ini banyak didominasi dengan turunan, tapi terjal hahaha. Saya anggap ini adalah hadiah setelah menempuh perjalanan berangkat dengan banyak tanjakan yang panjang dan luar biasa. Untuk jarak kali ini antara Dieng-Rumah (saya) sekitar 44 km. Sayangnya saya tidak memasang aplikasi penghitung jarak di HP saya. Tetapi menurut beberapa teman pesepeda, elevasi ke Dieng lebih dari 2000 m.

Sepanjang perjalanan Dieng-Wonosobo saya merasa haru. Saya bahagia sekali dan berbangga diri. Sembari menyeka air mata yang tiba-tiba keluar dibarengi adzan maghrib. Saya begitu lelah bersepeda seharian dengan tanjakan-tanjakan luar biasa dan dengan menahan sakit kaki kram saya berhasil sampai di Dieng. Terlintas dipikiran, betapa beratnya permasalahan yang kita hadapi di dunia ini. Tapi kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Betapapun kita dikalahkan oleh dunia. Entahlah momen haru saya dapati diperjalanan kali ini. Ingin rasanya berteriak kencang ketika perjalanan Dieng-Wonosobo, melepas semua beban pikiran yang mengendap di kepala. hehehe (gak lebay dong saya?)

Pukul 18.15 kami mampir sebentar di desa Tieng, untuk sholat maghrib dan mengisi perut. Dingin-dingin makan bakso pedas rasanya nikmat. no debat!. Perjalanan pulang didominasi kabut dan lampu-lampu di sepeda kami sudah menyala. Lagi-lagi saya ketar-ketir terhadap turunan yang terjal ini. Pelan sekali, takut rem blong. Sebab jurang mengelilingi jalanan. Pokoknya ngeri-ngeri sedap hahaha. Pukul 19.00 kami mulai menuruni jalanan menuju kota Wonosobo. Kabut masih menemani, pelan-pelan akhirnya sampai di alun-alun Wonosobo. Wedang Ronde obat mujarab dihawa dingin. Di sini kami menghabiskan sekitar 3o menit untuk istirahat, karena beberapa teman sudah mulai drop dan mengantuk. Maklum tidur cuma 1,5 jam. hehehe. 

Pukul 21.45 saya tiba di rumah. Berharga sekali perjalanan kali ini. Di perjalanan kali ini saya benar-benar merasakan haru. Semua perjalanan mempunyai cerita dan maknanya sendiri. Pun dengan perjalanan hidup manusia-manusia, memiliki kisah-kisahnya sendiri.

Sekian, salam.
 

Bersepeda ke Dieng; Jalan Dingin dan Sunyi


Hari begitu terik
Ketika musafir paruh bulan bertamu
pada padang pasir beroase.
Pikirnya sudah ia mengelilingi separuh dunia
Nyatanya hanya baru paruh bulan
Dan padang pasir mengisapnya pada jalan panjang kesunyian.

Perihal sunyi, kita adalah kesunyian itu sendiri
Padang pasir menghisapnya
Tangan timbul tenggelam pada ujung rumah matari
Di sambutnya tangan kekar
Ia dihampiri kesunyian lain yang begitu terang.

Kemudian ia terbayang masa kecilnya,
Lalu ingat perkataan guru,"fatamorgana itu benar-benar ada, seperti dunia"
Kelak kau akan paham.

Wonosobo, 13 Mei 2020

Musafir Menepi di Padang Pasir








sampingrumahku.com - "Sepeda laki kok pake keranjang, kaya sepeda cewek saja!", celetuk seorang teman.
  
Wah masih banyak lagi celetukan teman-temanku tentang sepedaku ini. Yah, belum tahu saja dia kalau sepedaku ini begitu keren. Ya, setidaknya menurutku. Maklum kalau soal selera mah enggak bisa diadu. Kenapa keren? sepeda ini produksi dalam negeri lho dan sudah tidak diproduksi lagi. Jadul sih, tapi rela bagi-bagi? enggak lah! haha. Tapi kali ini aku tidak ingin membahas soal sepeda federal ku ini. Soalnya aku ingin membahas tentang aksesoris keranjang sepeda. 

Mereknya Summersun, produk dalam negeri (lagi) yang aku pilih untuk melengkapi ke-manisan dari sepeda yang aku pakai setiap hari. Kota Bekasi adalah kota dimana keranjang ini berasal, jauh dari tempat tinggal ku di Wonosobo. Tapi karena sekarang jamannya pasar online jadi memudahkan nih untuk menjangkaunya; pesan, transfer, sampe deh barangnya di rumah. Sesimpel itu. Keranjang ini ku beli sekitar pertengahan Maret 2020 dan masih ku pakai sampai sekarang. Sebenarnya ini keranjang Summersun ku yang kedua, soalnya yang pertama dibeli oleh seorang teman (eh lebih tepatnya ku jual) hahaha. Alasanku kenapa memilih keranjang dari Summersun karena secara desain dan bahan bagus. Apalagi ini produk dalam negeri. Kita harus dukung movement ini. 

Sepeda dan Keranjang Summersun di Telaga Menjer

Tahu gak sih? Keranjang ini punya nama lho. Pony Basket, lucu juga ya namanya. Keranjang ini terbuat dari bahan yang gak tahu namanya, mungkin semacam besi pipa gitu kali ya. Dimensinya P= 37 cm, L= 25 cm, dan T= 12 cm cukup untuk menampung barang-barang yang aku bawa saat bersepeda. Ada dua jenis finishing di keranjang ini. Pertama warna hitam dan yang kedua chrome. Tentu saja aku pilih yang chrome biar keliatan mengkilat tapi tidak sejatam silet. Keranjang ini juga rapi dan terlihat proporsional ketika dipasang di sepeda. Nah, seperti yang udah aku katakan di atas. Keranjang ini bisa menampung banyak barang yang ku butuhkan ketika bersepeda. Misalnya, Minggu lalu saat gaya-gayaan bersepeda sendiri sambil ngopi di Telaga Menjer. Tentu saja keranjang ini bisa diandalkan. Beberapa peralatan menyeduh kopi ditampungnya dengan rapi. Keren Summersun!. Keranjang ini bisa dibeli via Bukalapak dan adminnya ramah banget. Bisa diajak ngobrol dan sangat menerima saran dan kritik dengan terbuka dan yang penting ramah. Recommended. Selain di Bukalapak, di akun instagramnya @summersunid kita bisa memantau produk-produk terbaru dari mereka. Kebetulan bakal ada produk terbaru, yaitu rak sepeda yang nantinya bisa dipasangkan dan sekaligus menjadi pasangan dari keranjang yang sudah diproduksi sebelumnya.

Sebenarnya aku tidak peduli orang mau menyebut apapun tentang sepedaku ini. Bodo amat. "Tidak penting sepedanya apa, yang penting bersepedanya", kata orang-orang. Betul tuh, betul banget. Terserah, apapun jenis sepedamu yang penting olahraga sebelum negara api menyerang hahaha. Akhir kalimat, terimakasih Summersun keranjang anda keren.

Menggunakan Keranjang Summersun dan Pengalamanya

http://www.sampingrumahku.com/2020/03/bersepeda-ke-telaga-menjer-wonosobo.html

 

15 Maret 2020

sampingrumahku.com - Hari Minggu tepatnya ketika saya memutuskan untuk bersepeda ke Telaga Menjer, Garung Wonosobo. Jarak dari rumah kurang lebih 20 km dengan kontur didominasi jalanan menanjak. Sebenarnya tujuan kali ini sudah saya rencanakan beberapa waktu sebelumnya, hingga akhirnya saya bisa mewujudkannya pada hari Minggu, 15 Maret 2020.

Ohya, sekarang saya punya kegemaran baru, yaitu bersepeda. Yap! bersepeda. Duh rasanya jadi ingat waktu kecil dulu ketika dibelikan bapak sebuah sepeda yang ku kayuh dengan riang. Itung-itung nostalgia. 

Perjalanan tempo hari saya persiapkan satu hari sebelumnya sebab bersepeda ke telaga Menjer bukan hanya sekedar bersepeda. Beberapa alat seperti kompor outdoor, air mineral, alat seduh kopi, panci outdoor dan tentu saja beberapa tools yang berhubungan dengan sepeda. Kali ini saya ingin ngopi di telaga Menjer yang pemandanganya aduhai syahduhnya!. Kebetulan saya sendiri waktu itu, jadi agak santai dibuatnya. 

Perjalanan saya mulai pukul 05.00 selepas melaksanakan ibadah. Kelengkapan sudah siap semua termasuk baterai (senter) untuk penerangan di jalan, sebab saat saya berangkat jalan masih gelap. Pelan namun pasti ku kayuh sepeda dengan bawaan cukup di keranjang depan. Lokasi rumah saya memang didominasi dengan jalanan rolling alias naik turun. Agak ngempos sebenarnya, sebab dalam seminggu waktu itu saya hanya bersepeda beberapa kali saja. Belum ada 1/4 jalan mulai ada yang aneh dengan sepeda saya, "encit ... encit ... encit ..." suara yang minor sebenarnya, namun cukup mengganggu telinga saya. Ku lirik jam dan baru menunjukan pukul 05.25 saya periksa sesuatu roda depan. Ternyata ada sedikit masalah di bagian pengereman sepeda saya. Saya betulkan sebisanya untuk nanti diteruskan di tempat yang agak terang. Kemudian baru jalan kurang lebih 2 km, bunyi tersebut muncul lagi dan begitu keras. Masalah masih sama, yaitu bagian pengereman. Saya betulkan semaksimal mungkin sampai baru sadar sudah pukul 06.00 dan saya belum ada 1/4 jalan. Beberapa pesepeda juga menawarkan bantuan tapi berhubung saya membawa tools yang lumayan lengkap, jadi bukan menjadi sebuah hambatan.

Jalan menuju kota Wonosobo memang didominasi dengan tanjakan. Sedikit jalan datarnya. Pelan-pelan ku kayuh sepeda besi tua ku, yaitu sepeda Federal dengan seri Torino. Walaupun banyak jalan menanjaknya, banyak juga pesepeda yang ada di kota dingin ini. Sesampainya alun-alun kota, saya menuju jalan ke arah Dieng. Tenaga agak terkuras saat perbaikan rem depan sepeda yang agak susah. Mampir ke WARKOM untuk membeli beberapa bekal yang belum lengkap. 



PLTA Garung, Wonosobo

pukul 06.45 

Saya melanjutkan perjalanan. Sejak awal saya tidak ingin buru-buru sampai tujuan, sebab karena saya sendiri dan tidak ada target waktu lebih ingin menikmati perjalanan. Tanjakan demi tanjakan saya lewati. Sempat ada pikiran,"ngapain sih capek-capek sepedaan ke sini! enak tidur di rumah!" sial memang, pikiran seperti itu terkadang menyerang saya ketika sudah memasuki lebih dari setengah perjalanan. Bikin mental nganu saja! Hahaha. Untungnya itu hanya angin lalu sampai tiba disebuah tempat bertuliskan PLTA Garung, itu artinya sebentar lagi sampai telaga Menjer. Waktu menujukan pukul 07.35 saya jarang berhenti untuk waktu yang lama, hanya sekedar minum lalu lanjut kayuh. Tanjakan pertama yaitu tanjakan terjal dengan kontur jalan rusak dan menikung S lumayan tajam. Itu artinya juga sebuah turuan tajam jika dari atas. 


Jembatan Menuju Telaga Menjer


Ingat ya, sejak awal saya tidak terburu-buru untuk sampai tujuan. Gigi pada sepeda saya pindahkan menjadi 1-2 sampai 1-1 agar kayuhan terasa ringan. Pelan namun pasti tanjakan demi tanjakan saya lewat. Saya tidak ingin berhenti tiba-tiba di jalan menanjak. Bahaya! jika langsung berhenti. Maka dari itu saya memilih memelankan tempo kayuhan yang penting stabil. Ada tanjakan panjang dengan view yang luar biasa indah. Subhanallah. Gunung Sindoro dengan gagahnya menyambut juga hawa dingin yang tentu saja menemani. Sampai akhirnya tiba di sebuah jembatan kecil yang menandakan bahwa tujuan saya sebentar lagi tiba. Di jembatan itu saya berhenti untuk mengambil nafas dan minum agar tidak dehidrasi. Sambil sesekali menyapa warga setempat. Pikiran negatif yang tadi sempat terlintas tiba-tiba saya buang jauh-jauh. 


Telaga Menjer

Pukul 08.35 

Tanjakan terakhir berhasil saya lewati dan berarti saya sudah sampai di tujuan, telaga Menjer. Sudah lama saya tidak berkunjung. Terakhir kali beberapa tahun yang lalu ketika beberapa kawan dari Purwokerto saya ajak kemari dan menaiki perahu untuk berkeliling telaga ini. Banyak perahu disana. Kalian bisa keliling telaga dengan menyewa perahu, kali ini sudah dilengkapi dengan pelampung. Langsung saja saya menuju tempat favorit di telaga Menjer. Saya pikir di tempat itu saya sendiri, ternyata ada rombongan pesepeda lain yang juga menuju tempat favorit itu. Selepas melepas lelah, saya keluarkan peralatan untuk menyeduh kopi. Menikmati kopi dengan pemandangan syahdu telaga Menjer mengobati lelah bersepeda dengan jalanan didominasi tanjakan. Nikmat mana lagi yang kau dustakan!

Pukul 10.00 

Selesai beberapa kali mengambil gambar sepeda berlatar telaga, saya kemasi barang-barang dan membersihkan sampah yang saya bawa. Saya memang tidak berencana menghabiskan waktu lama di tempat itu. Kabut mendung mulai turun. Wah! turunan sudah menanti. Turunan adalah surga bagi pesepeda khususnya saya pribadi hahaha. Langsung saja kayuh sepeda sambil senyam-senyum pada diri sendiri. Begitu sederhana menikmati hidup dengan melakukan apa yang kita sukai tanpa harus merugikan orang lain. Bersepeda selain untuk menjaga kesehatan, pun mengajari saya untuk tidak menjadi egois terhadap diri sendiri dan orang lain. Bisa menambah energi positif untuk tubuh. Bersepeda pun melatih diri saya untuk mengenali batas kemampuan tubuh saya pribadi dengan tidak memaksakan apa yang seharusnya itu cukup. Jaga kesehatanmu. Salam.

Bersepeda ke Telaga Menjer Wonosobo