Pendakian gunung yang dijuluki anak gunung Sindoro, Jawa Tengah ini kami lakukan sekitar bulan Oktober 2016. Lupa tanggal maaf hehe. Jalur pendakian berada di desa Lengkong, Garung, Wonosobo. Jika dari pusat kota Wonosobo kita bisa ambil ke arah utara yaitu jalur ke Dieng. Sekitar 15 menit dari pusat kota untuk sampai ke desa Garung.
Waktu itu kami berlima, Kuying, Wisnu, Tira, Aziz, dan saya
sendiri memutuskan untuk refreshing dari kejenuhan aktivitas di kampus.
Kemudian kawan kami memberitahu jika ada gunung yang masih jarang didaki. Ohya,
di daerah Dieng yang notabene dekat dengan gunung Kembang ini ada gunung Prau
yang menjadi primadona bagi para pencari matahari terbit. Awalnya kami ingin
naik ke gunung Prau, karena beberapa alasan akhirnya kami urungkan untuk naik
ke gunung tersebut. Kami akhirnya memutuskan untuk mendaki gunung Kembang.
Bermodalkan cerita dari kawan kami, mulai dari tempat pendakian, biaya masuk,
pemandangan di puncak, serta beberapa cerita horornya kami nekat untuk mendaki
anak gunung Sindoro itu.
Perjalanan kami mulai kira-kira pukul 11.00 berangkat dari
rumah saya, kemudian langsung menuju desa Garung untuk bertemu dengan juru
kunci gunung tersebut. FYI ternyata gunung ini memang jarang
didaki, sekalinya ada pendaki adalah mereka yang ingin semedi. Setelah kami
sampai di rumah juru kunci, segera saja kami memarkirkan kendaraan kami,
mempersiapkan diri, dan tentu saja membayar tiket masuk. Tiket masuk pada saat
itu sekitar Rp 5.000,- per orang. Cukup terjangkau untuk kantong mahasiswa
wkwkw.
Selesai kami bersiap-siap, juru kunci menjelaskan jalur yang
akan kami tuju. Ia memberi tanda jika jalur yang akan kami lalui hanya ada
sebatas tanda, yaitu adanya tali rafia berwarna biru. Setelah semua selesai,
kami berlima berdoa agar diberi kelancaran pada saat naik dan turun gunung.
Pendakian dimulai pukul 13.00 WIB, dimulai dengan jalan setapak desa yang
(subhanallah) belum apa-apa sudah tinggi hehehe. Pelan-pelan lalu sampai di
jalan ladang warga. Ternyata jalur pendakian ini sangat mengejutkan, sebab
dimulai dari pedesaan sudah sangat terjal naiknya. Pelan-pelan kami sampai di
ujung ladang warga, berbekal nasihat juru kunci, kami mencari potongan tali
rafia warna biru sebagai petunjuk jalan menuju puncak. Akhirnya kami menemukan
tali pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ternyata benar, gunung ini jarang didaki
dan tidak populer dibandingkan gunung Prau di Dieng. Ini ditandai dengan masih
lebatnya vegetasi di hutan yang kami lalui. Ohya kita dapat menemukan banyak
jenis anggrek di hutan gunung kembang ini. Menempel pada dahan pohon.
Selangkah demi langkah kami berjalan, lelah, istirahat lalu
berjalan kembali. Sampai akhirnya tepat adzan maghrib berkumandang kami tiba di
puncak dan disuguhi pemandangan yang luar biasa. Hamparan ilalang dan bekas
kawah yang begitu luas menyambut kami. Ohya tepat di jalur sebelum puncak, ada
sebuah pondokan kecil yang nampaknya tempat untuk bersemedi. Segera setelah
istirahat, kami segera mendirikan tenda diantara semak-semak guna menghidari
angin yang kencang. Sebab menurut kawan kami yang sudah mendaki, di gunung ini
kadang-kadang terjadi badai secara tiba-tiba. Tenda berhasil didirikan, lantas
kami segera memasak bekal mie instant yang kami bawa. Makan malam, minum kopi
sambil bercerita dan bertukar pikiran. Untung saja tidak ada sinyal di ponsel
kami sehingga kami dapat menghabiskan malam dengan bercerita. Kenyang makan,
satu persatu mapan tidur di tempatnya masing-masing. Kabut
mulai turun, lalu kami memutuskan untuk mengakhiri malam dengan tidur lebih
awal supaya besok bangun lebih pagi.
Namun tengah malam beberapa dari kami terbangun, merasakan
tenda bergoyang. Kami pikir tenda kami sedang diusik oleh celeng. Tapi ternyata
sedang ada badai dan hujan, untung saja kami berkemah di antara semakbelukar.
Berulangkali tenda kami bergoyang, nampaknya badai di luar kencang dan lama.
Esok paginya kami bangun pagi dan ternyata di puncak penuh kabut, tapi tidak
berlangsung lama kabutpun mulai hilang. Sejenak kami santai menikmati pagi dan
menjauh dari kebisingan. Di puncak gunung terdapat sebuah kawah besar yang
berisi ilalang dan juga terdapat genangan air. Kita bisa mengambil air tersebut
untuk dimasak.
Setelah puas menikmati keindahan, kami mulai membereskan tenda dan sampah yang kami buat. Tapi sebelumnya kami sarapan supaya kuat. Pagi itu setelah kami beres-beres cuaca cukup cerah. Sebelum kami turun, kami sempatkan untuk foto bersama lalu bergegas turun. Perjalanan turun sama beratnya, karena kami harus menahan beban kami, untungnya perbekalan sudah banyak yang habis jadi bebannya tidak terlalu banyak hehe. Jalur yang kami lalui sama, karena menurut kawan kami hanya ada satu jalur yang dilalui. Sesampainya kami di ladang warga, tak berselang lama hujan turun. Kami memakai jas hujan masinig-masing. Perlahan berjalan, namun tak disangka-sangka angin kencang datang. Kami agak kesusahan, dengan badan capek, hujan lalu angin. Kami beberapa kali berhenti karena jalan licin. Kami berpapasan dengan warga lalu kami bertanya apakah sering terjadi angin sekencang ini, tetapi mereka menjawab jarang terjadi seperti ini mas, kalo di gunung sering. Akhirnya pelan-pelan kami sampai ke rumah juru kunci, segera berbenah, istirahat. Sewaktu kami tiba di rumah juru kunci, kami mendapat dua orang yang hendak naik gunung. Menurut juru kunci dalam sebulan paling banyak 30 orang yang mendaki.
Kami cukup senang bersama-sama menghabiskan kejenuhan
dengan mendaki gunung Kembang ini. Banyak waktu yang kami habiskan dengan
bercanda, bertukar pikiran, melepaskan kebisingan yang kami lalui. Sekarang
sudah dibuka jalur resmi pendakian gunung Kembang tepatnya di Blembem,
Darmakasiyan, Kretek, Wonosobo. Kami adalah orang awam tentang gunung dan alam,
tapi dengan kesoktahuan kami, yaitu jangan meninggalkan sampah di gunung
hehehe.
Tetap berhati-hati dan jangan biarkan ego mengendalikan
ketika bersama-sama. Ini ada sedikit cuplikan video saat kami mendaki yang
diedit oleh kawan Tira.
~sekian.
No comments