Menepi di Matahari Merah
"Mas, kapal bapak yang mana? kok Arum ndak
lihat ya?", Arum jinjit penasaran. "Sabar to dik, kita tunggu
bapak. Paling sebentar lagi sandar", Itoy menenangkan adiknya. Arum dan
Itoy sudah menunggu beberapa jam, namun bapak mereka tak kunjung terlihat.
Sambil menunggu di bibir pantai, Arum memilih mencari kerang untuk dibuatnya
karjinan. "Rum, kerangnya sudah dapat banyak ?", Itoy membuyarkan
lamunan Arum.
---
Itoy, si sulung berambut ikal yang selalu menunggu
bapaknya pulang melaut. Sementara Arum di bungsu membawa rantang berisi nasi
hangat beserta lauknya, ini kali pertama Arum ikut menunggu bapak pulang
melaut. Itoy sudah siap-siap jika nanti Arum bosan menunggu. Arum jarang ikut
jika menunggui bapak pulang melaut, ia memilih menunggu di teras sambil bermain
dengan kucingnya. Namun kali ini ia merengek pada Itoy,"Mas, Arum ikut yah
menunggu bapak, ya mas, boleh ya? Arum janji ndak bakal minta pulang,
sekalian cari kerang". "Halah kamu itu, nanti yo paling kaya
biasa, mutung!", ledek Itoy.
Mereka bergegas menuju tepi pantai tempat biasa
kapal-kapal nelayan bersandar. Sepanjang jalan menuju pantai, jarang terlihat
pemuda yang ditemui. Pemuda di kampung mereka banyak yang bekerja di kota,
sebab menjadi nelayan tak menjanjikan hidup yang layak. Padahal hidup di kota
juga tak menjamin layaknya kehidupan mereka. Kota telah menjajikan pelita di
tengah ombak pantai.
Sesampainya di pantai, Arum berlari menjemput
kerang-kerang mungil lalu dikantonginya. Dipilihnya mana kerang yang masih
bagus, terkadang ia juga mengikuti ketam yang pulang pada liangnya. Namun ia
tak berani menangkapnya, sebab kakaknya melarangnya. "Kamu ndak boleh
bawa pulang ketam ya Rum, biarkan mereka hidup di alamnya. Kamu ndak mau
to diganggu hantu ketam? nanti kamu pas tidur diganggu, digigit kakimu.
hiiiiiii", larang kakaknya. Arum sebenarnya tak mempercayai kata-kata
kakaknya, tapi kali ini ia memang tak berniat membawa ketam pulang. "Halah
bohong, lain kali akan ku bawa pulang", mbatin Arum. Satu dua kapal
mulai nampak di merahnya matahari. Matahari menjadi merah ranum, memaksa pulang
nelayan. Membawa sekantung harapan, memberi kehidupan lainnya.
Bersambung...
No comments