Halaman

    Social Items

Copyright @sayur.labu 2018

SampingRumahKu.com - Beberapa minggu lalu saya kembali berkunjung ke sawah yang selama ini memasok kebutuhan beras untuk keluarga saya, yaitu sawah milik bapak. Sawahnya ini adalah warisan dari Mbah, orang tua dari bapak. Ada sekitar empat petak sawah yang dirawat oleh bapak. Di sebelahnya persis mengalir sungai Serayu yang hulunya di dataran tinggi Dieng, sungai dengan banyak jeram ini kerap kali digunakan untuk olahraga arungjeram. Di pinggir sawah juga ditanami beberapa pohon kelapa, pohon jati dan jambu sebagai penguat areal sawah supaya tak mudah longsor karena terjangan air sungai. Sekitar tahun 2014 sungai Serayu ini sangat tiba-tiba banjir bandang yang tak pernah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, untungnya ada pohon-pohon tersebut jadi sawah bapak cenderung aman, walaupun ada beberapa bagian ikut hanyut karena berbatasan langsung dengan air.

Lama rasanya tak mengunjungi sawah ini, terlalu sibuk menggadaikan waktu pada kefanaan sampai lupa menengok ladang punya bapak. Bahkan sekedar untuk menemani bapak mengalirkan air untuk petak-petak sawah. Kebetulan bulan lalu kemarau sedang datang, dan bapak sedang sering-seringnya ke sawah. Sore itu pula ku putuskan untuk ikut ke sawah mengajak serta adikku. Kami menelurusi jalan pematang sawah yang kering karena kemarau sedang datang. Tiba-tiba ada perasaan terlempar ke masa kanak-kanak ketika diriku sering ikut ke sawah. Sebagian sanak keluarga dari ayah adalah petani, jadi saat musim tanam tiba anak sebayaku mengekor orang tuanya pergi ke sawah. Kami lebih suka bermain lumpur sawah, saling kejar-kejaran lalu saling lempar lumpur. Lelah lalu kami ikut makan bersama di lahan kecil yang sengaja dibuat untuk tempat istirahat. Perasaan itu muncul tiba-tiba ketika aku melihat adikku yang masih duduk dibangku kelas 3 sekolah dasar ini berlarian di pematang sawah sambil membawa sebilah kayu. Lalu kami berdua berlarian, karena tanah kering kami bebas berlarian tanpa takut harus terjerembab di lumpur.

Pematang sawah yang ku lalui masih sama sejak belasan tahun silam ketika diriku masih seumuran adikku ini. Tak banyak yang berubah kecuali beberapa sawah yang berubah menjadi kebun salak dan ada yang ditanami pohon albasia. Pun tak kutemui petani-petani yang dulu ketika diriku kecil sering merawat sawahnya. Orang-orang yang dulu giat dan tangguh merawat lahan sawahnya sekarang sudah tak lagi mampu untuk merawatnya. Ada yang sudah menderita gangguan pendengaran bahkan sampai ada yang linglung. Sedih rasanya mendengar kabar seperti itu, sebab ternayata diriku melewatkan banyak peristiwa. Namun sawahnya sekarang sudah di rawat oleh anak-anaknya. Lebih bagus daripada terbengkalai.

Sawah sebagai sumber penghidupan

Dalam konteks ini saya berpikir bahwa sejak padi masuk ke negara Indonesia yang konon katanya berasal dari India yang dibawa nenek moyang ketika migrasi ini kemudian menjadikan sawah sebagai satu-satunya sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat pedesaan (baca bertani). Hal ini bisa dibuktian jika di desa tempat saya tumbuh berkembang ini didapati ada sebuah keluarg yang turun-temurun berprofesi sebagai penggarap lahan. Maksud saya disini adalah tidak hanya pemilik lahan (sawah) yang menggantungkan hidup dari bertani. Ada beberapa profesi yang memang dilakukan secara profesional oleh sekelompok orang dalam pengelolaan sawah. Hal ini menjadi menarik untuk saya sendiri sebagai upaya pemahaman bahwa dalam suatu objek itu terdiri atas berbagai macam unsur pendukunnya. Sebagai contoh dalam persoalan sawah ini.

Bagi pemilik lahan sudah jelas ia akan memanen atas hasil padi yang ditanam. Kemudian untuk pekerja yang membantu dalam pengelolaan sawah seperti memanen, matun, membajak sawah, dan hal-hal yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh si pemilik lahan adalah sumber rezeki bagi pekerja. Hal ini mempunyai bobot yang sama. Atas dasar saling menguntungkan ini maka kultur bertani di desa saya masih berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada yang dirugikan. Bahkan pada saat panen, bapak memberikan 10 kg per 1 kuintal padi yang dipanen sebagai tambahan upah bekerja. Satu keluarga ini yang berprofesi sebagai pekerja penggarap sawah tidak hanya bekerja pada satu orang, namun ada beberapa orang yang menggunakan jasa keluarga tersebut. 

Jadi dalam semua aspek pekerjaan tidak hanya bergantung pada satu sumber untuk menggerakan roda perekonomian. Masing-masing mempunyai kapasitasnya yang berguna untuk menggerakan sebuah pekerjaan. Dalam konteks ini yaitu bertani. Banyak orang yang bergantung dari aktivitas bertani, apa jadinya jika sawah tiba-tiba habis digantikan perumahan-perumahan. Semoga kita tidak menjadi gagap dalam membangun peradaban kita sendiri, sampai mengesampingkan aktivitas bertani ataupun membabat alam untuk kepentingan pertumbuhan jumlah manusia.

'Kesunyian' masing-masing

Berada di sawah memberikan ketenangan bagi para petani dan tek tekecuali bapak. Di sawah seluruh petani mengeluarkan segala daya dan upaya guna menjaga sawah yang ia miliki. Seperti ibadah, petani khusyuk dalam ritual perawatan sawah. Ini bukan persoalan pada permukaan saja, sebab sawah menjadi lumbung penghidupan bagi mereka. Kekayaan dan anugerah dari Tuhan untuk hamba-Nya.

Copyright @sayur.labu 2018

Bagiku berada di sawah ini mendatangkan kesenangan masa kanak-kanak, disini diriku menemukan kembali 'kesunyian' masa kanak tatkala modernitas tak dianggap sebagai tolak ukur majunya sebuah peradaban. 

Dewasa ini bertani dianggap kuno, dan tidak maju menurut standar-standar yang dibuat oleh pemegang kebijakan. Entah kenapa jika bekerja sebagai petani masih dianggap sebagai masyarakat kurang mampu dan lain sebagainya. Tak elok jika harus lahir pandangan seperti itu terhadap petani. Jika bukan karena petani, siapa yang akan memasok beras-beras yang berubah menjadi nasi-nasi yang tersaji di piring-piring restoran, warung bagi para pekerja kantoran atau yang msaih menganggap bertani adalah kuno.

Semoga kita bisa menghargai setiap profesi orang, entah apapun itu. Salam :)

Sawah dan Kesunyian Masing-masing

Copyright @sayur.labu 2018

SampingRumahKu.com - Beberapa minggu lalu saya kembali berkunjung ke sawah yang selama ini memasok kebutuhan beras untuk keluarga saya, yaitu sawah milik bapak. Sawahnya ini adalah warisan dari Mbah, orang tua dari bapak. Ada sekitar empat petak sawah yang dirawat oleh bapak. Di sebelahnya persis mengalir sungai Serayu yang hulunya di dataran tinggi Dieng, sungai dengan banyak jeram ini kerap kali digunakan untuk olahraga arungjeram. Di pinggir sawah juga ditanami beberapa pohon kelapa, pohon jati dan jambu sebagai penguat areal sawah supaya tak mudah longsor karena terjangan air sungai. Sekitar tahun 2014 sungai Serayu ini sangat tiba-tiba banjir bandang yang tak pernah terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama, untungnya ada pohon-pohon tersebut jadi sawah bapak cenderung aman, walaupun ada beberapa bagian ikut hanyut karena berbatasan langsung dengan air.

Lama rasanya tak mengunjungi sawah ini, terlalu sibuk menggadaikan waktu pada kefanaan sampai lupa menengok ladang punya bapak. Bahkan sekedar untuk menemani bapak mengalirkan air untuk petak-petak sawah. Kebetulan bulan lalu kemarau sedang datang, dan bapak sedang sering-seringnya ke sawah. Sore itu pula ku putuskan untuk ikut ke sawah mengajak serta adikku. Kami menelurusi jalan pematang sawah yang kering karena kemarau sedang datang. Tiba-tiba ada perasaan terlempar ke masa kanak-kanak ketika diriku sering ikut ke sawah. Sebagian sanak keluarga dari ayah adalah petani, jadi saat musim tanam tiba anak sebayaku mengekor orang tuanya pergi ke sawah. Kami lebih suka bermain lumpur sawah, saling kejar-kejaran lalu saling lempar lumpur. Lelah lalu kami ikut makan bersama di lahan kecil yang sengaja dibuat untuk tempat istirahat. Perasaan itu muncul tiba-tiba ketika aku melihat adikku yang masih duduk dibangku kelas 3 sekolah dasar ini berlarian di pematang sawah sambil membawa sebilah kayu. Lalu kami berdua berlarian, karena tanah kering kami bebas berlarian tanpa takut harus terjerembab di lumpur.

Pematang sawah yang ku lalui masih sama sejak belasan tahun silam ketika diriku masih seumuran adikku ini. Tak banyak yang berubah kecuali beberapa sawah yang berubah menjadi kebun salak dan ada yang ditanami pohon albasia. Pun tak kutemui petani-petani yang dulu ketika diriku kecil sering merawat sawahnya. Orang-orang yang dulu giat dan tangguh merawat lahan sawahnya sekarang sudah tak lagi mampu untuk merawatnya. Ada yang sudah menderita gangguan pendengaran bahkan sampai ada yang linglung. Sedih rasanya mendengar kabar seperti itu, sebab ternayata diriku melewatkan banyak peristiwa. Namun sawahnya sekarang sudah di rawat oleh anak-anaknya. Lebih bagus daripada terbengkalai.

Sawah sebagai sumber penghidupan

Dalam konteks ini saya berpikir bahwa sejak padi masuk ke negara Indonesia yang konon katanya berasal dari India yang dibawa nenek moyang ketika migrasi ini kemudian menjadikan sawah sebagai satu-satunya sumber penghidupan bagi sebagian masyarakat pedesaan (baca bertani). Hal ini bisa dibuktian jika di desa tempat saya tumbuh berkembang ini didapati ada sebuah keluarg yang turun-temurun berprofesi sebagai penggarap lahan. Maksud saya disini adalah tidak hanya pemilik lahan (sawah) yang menggantungkan hidup dari bertani. Ada beberapa profesi yang memang dilakukan secara profesional oleh sekelompok orang dalam pengelolaan sawah. Hal ini menjadi menarik untuk saya sendiri sebagai upaya pemahaman bahwa dalam suatu objek itu terdiri atas berbagai macam unsur pendukunnya. Sebagai contoh dalam persoalan sawah ini.

Bagi pemilik lahan sudah jelas ia akan memanen atas hasil padi yang ditanam. Kemudian untuk pekerja yang membantu dalam pengelolaan sawah seperti memanen, matun, membajak sawah, dan hal-hal yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh si pemilik lahan adalah sumber rezeki bagi pekerja. Hal ini mempunyai bobot yang sama. Atas dasar saling menguntungkan ini maka kultur bertani di desa saya masih berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada yang dirugikan. Bahkan pada saat panen, bapak memberikan 10 kg per 1 kuintal padi yang dipanen sebagai tambahan upah bekerja. Satu keluarga ini yang berprofesi sebagai pekerja penggarap sawah tidak hanya bekerja pada satu orang, namun ada beberapa orang yang menggunakan jasa keluarga tersebut. 

Jadi dalam semua aspek pekerjaan tidak hanya bergantung pada satu sumber untuk menggerakan roda perekonomian. Masing-masing mempunyai kapasitasnya yang berguna untuk menggerakan sebuah pekerjaan. Dalam konteks ini yaitu bertani. Banyak orang yang bergantung dari aktivitas bertani, apa jadinya jika sawah tiba-tiba habis digantikan perumahan-perumahan. Semoga kita tidak menjadi gagap dalam membangun peradaban kita sendiri, sampai mengesampingkan aktivitas bertani ataupun membabat alam untuk kepentingan pertumbuhan jumlah manusia.

'Kesunyian' masing-masing

Berada di sawah memberikan ketenangan bagi para petani dan tek tekecuali bapak. Di sawah seluruh petani mengeluarkan segala daya dan upaya guna menjaga sawah yang ia miliki. Seperti ibadah, petani khusyuk dalam ritual perawatan sawah. Ini bukan persoalan pada permukaan saja, sebab sawah menjadi lumbung penghidupan bagi mereka. Kekayaan dan anugerah dari Tuhan untuk hamba-Nya.

Copyright @sayur.labu 2018

Bagiku berada di sawah ini mendatangkan kesenangan masa kanak-kanak, disini diriku menemukan kembali 'kesunyian' masa kanak tatkala modernitas tak dianggap sebagai tolak ukur majunya sebuah peradaban. 

Dewasa ini bertani dianggap kuno, dan tidak maju menurut standar-standar yang dibuat oleh pemegang kebijakan. Entah kenapa jika bekerja sebagai petani masih dianggap sebagai masyarakat kurang mampu dan lain sebagainya. Tak elok jika harus lahir pandangan seperti itu terhadap petani. Jika bukan karena petani, siapa yang akan memasok beras-beras yang berubah menjadi nasi-nasi yang tersaji di piring-piring restoran, warung bagi para pekerja kantoran atau yang msaih menganggap bertani adalah kuno.

Semoga kita bisa menghargai setiap profesi orang, entah apapun itu. Salam :)

No comments